Selasa, Februari 08, 2011

Menyesali emosi - harga sebuah persahabatan


Sebagai anak muda (cieeee...), kadang ada saatnya aku tak lagi berkompromi menahan emosi. Hanya karena masalah kecil yang tak begitu penting, yang waktu itu bagiku sepertinya penting, aku menggadaikan jalinan pertemanan yang kurajut sekian tahun, hingga akhirnya perkelahian itu pun memuncak.

Stress akibat tekanan pekerjaan, ditambah dengan bisikan penyakit hati macam iri dan dengki, melihat kawan di ruang atas bersantai-santai dengan asyiknya, di saat aku di bawah sini berjibaku dengan tumpukan tugas dan tanggung jawab yang tak henti menghampiri. Bahkan ada yang sempat keluar nonton film, atau pergi karaoke bersama saat jam kerja. Hanya nafas terhela sambil ku mengelus dada. Sabar... niatkan untuk ibadah.


Namun, ternyata, nafsu sebagai manusia selalu saja mencari celah untuk menjerumuskan. Aku tak ingin menyalahkan syithan, dia pun tak tahu apa2, bahkan jika marah ku memuncak, syaithan pun bisa tunggang langgang dari hadapku. Waktu itu, aku hanya menuntut apa yang menjadi hak bagiku, setelah semua prosedur kujalankan, harusnya hak itu bisa kudapatkan. Saat aku merasa dipersulit, aku akhirnya memendam emosi dalam hati. Dia, yang berwenang itu, yang pertama kali memuntahkan amarahnya, akibat kesal karena keterbukaanku pada atasan, tentang kesalahan yang dulu ia lakukan.

Ia lalu memaki, mengejarku, memukuli walau niatnya tak tersampaikan, tinjunya tak pernah mendarat di sasaran. Aku menangkis, menghindar, hingga kacamata pun terlempar, terinjak, pecah. Sempat ku membalaskan 2 kepalan tangan kanan ku ke pelipisnya. Orang-orang melerai, aku digiring keluar dari ruangannya. Ia mencoba mengejar, mengangkat kursi, melempar ke arahku, tak sampai. Ia mengambil gelas kaca, namun tangan satpam lebih dulu menahan dan merangkulnya. Aku diam, lalu keluar dari ruangan itu.

Terpaku didepan cermin, gigiku berdarah, ternyata satu tinjunya tepat sasaran. Aku pulang, berpikir ingin melaporkannya ke polisi, tapi.... pikiranku melayang ke masa dulu kami masih di ruangan yang sama.

Dia, senior pertama yang mengajakku makan siang bersama, saat aku merasa sendirian sebagai karyawan baru di kota yang benar2 asing. Dia, yang mengajarkanku tentang bagaimana bergaul dengan rekan sekantor. Dia yang tak pernah lupa mengajakku jika senior2 sedang keluar bersama. Dia, yang senantiasa membagi semangat saat malas melanda. Dia, yang tak berat meminjamkan mobilnya saat aku butuh kendaraan ke luar kota. Dia, yang setiap aku pulang kampung tak pernah lupa ku belikan oleh-oleh untuk istri dan anak-anaknya. Dia, yang mengajakku bermain tenis padahal tau aku tak bisa. Dia, senior yang ku hormati dan ku segani.

Sorenya, atasan pun memanggilku, aku pun memberikan penjelasan apa adanya. Sembari itu, air mata pun menetes, aku tak peduli lagi di ruangan itu banyak adik2 kelas dan siswa2 yang sedang praktek kerja. Terisak aku mengusap air mata, aku menyesal. Tak lama aku pun mengirimkan pesan pendek padanya, aku menyesalkan semua yang terjadi. tak sampai 10 detik pesan ku kirim, handphone ku berdering, samar dengan mata yang basah aku mengeja nama yang tertera, dia. Seketika aku menarik nafas dan menjawab panggilan itu. Dan ternyata sama, dia pun menangis, menyesali sikap dan amarahnya, berpuluh kata maaf terucap dari bibirnya.
Tapi kami tak ingin bertemu dulu untuk hari ini, biar kami menyesali semalaman atas khilaf kami.

Tak lama, hak yang aku tuntut kemudian diberikan, bukan olehnya, tapi kawan se ruangannya. Aku malu, ini kah harga persahabatan itu? segini saja? Pulangnya, semalamam kami saling bertukar sms, maaf, doa, dan ucapan baik lainnya bersahut2an. Kami menyesal.

Pagi ini, ringan langkahku ke ruang itu, ruang bekas kami berkelahi siang kemarin. Pintu ku ketuk, sekejap ia berlari ke arahku, kali ini bukan untuk memukul, dan kami pun berpeluk.

Sudut mata pun basah, semoga dosa2 kami tergugurkan. Faghfirlii yaa robbi.

Masih dengan canggung, aku pun pamit, berjalan ringan keluar ruangan. Sampai di pintunya, tak sengaja pandangku menunduk, dan melihat sebongkah kecil teronggok di sudut lemari, memantulkan sinar lampu ruang itu, lalu kujumput, dan tercenung. Ahh.. ini pecahan kacamataku.,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar